Sikap toleran dan 'santai saja' terhadap ujaran-ujaran yang berseliweran seolah-olah menjadi susah diterapkan.
"Perlu ada kubu mediator dari kedua kubu itu, karena sekarang ini benar atau salah ditentukan dari banyaknya followers, sehingga susah untuk bersikap toleran satu sama lain," kata Wasisto.
Baca Juga:
Bawaslu Kubu Raya Selidiki Dugaan Kampanye Pilkada Difasilitasi Dinas Pendidikan Setempat
Wasisto adalah ilmuwan sosial lulusan UGM dan The Australian National University.
Dia pernah meneliti kebangkitan aktivisme siber di kelas menengah Indonesia.
Untuk perilaku netizen akhir-akhir ini, dia mengamati kecenderungan corak sikap tertentu, yakni hasrat untuk mempermalukan lawan politik di media sosial.
Baca Juga:
YLKI Wanti-wanti Konsumen Jangan Asal Viralkan Keluhan di Medsos, Ini Risikonya
"Karena sosial media telah membentuk kultur 'virtual shaming' yakni membuat malu orang lain secara virtual, membuat terlapor/tertuduh menjadi bulan-bulanan karena kasusnya menjadi viral. Dengan demikian, ada motif balas dendam yang dilakukan oleh pelapor kepada terlapor," kata Wasisto.
Misalnya, ada dua kubu, yakni kubu X dan kubu Y.
Kubu X merasa pihaknya telah dipermalukan di medsos, bahkan tokoh dari kelompoknya ada yang dilaporkan ke polisi oleh kubu Y.