LPKKI.id | Akhir-akhir ini, sejumlah tokoh dilaporkan ke polisi setelah ujarannya viral di media sosial (medsos).
Perilaku cuap-cuap di internet berujung lapor polisi ini sudah ada sejak dekade silam, namun eskalasinya terasa meningkat akhir-akhir ini.
Baca Juga:
Bawaslu Kubu Raya Selidiki Dugaan Kampanye Pilkada Difasilitasi Dinas Pendidikan Setempat
Sebut saja kasus Ferdinand Hutahaean, Arteria Dahlan, Habib Bahar Smith, Jenderal Dudung Abdurachman yang dilaporkan ke Pomad, hingga Edy Mulyadi.
Ferdinand Hutahaean bahkan sudah masuk penjara, maksudnya ditahan di rumah tahanan Mabes Polri.
Sebelumnya, Bahar Smith juga ditahan di Mapolda Metro Jaya.
Baca Juga:
YLKI Wanti-wanti Konsumen Jangan Asal Viralkan Keluhan di Medsos, Ini Risikonya
Kasus-kasus semacam itu seolah-olah serupa, awalnya ramai dulu di media sosial dan kemudian dilaporkan ke aparat, meski bisa jadi omongan aslinya disampaikan pada acara pertemuan fisik, namun videonya kemudian dibawa ke media sosial.
Menanggapi fenomena ini, Analis media sosial Drone Emprit and Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, membagikan perspektifnya.
Dia melihat kehebohan-kehebohan semacam itu berawal dari pro dan kontra yang berkembang di medsos.
Perilaku seperti ini sudah lama dimulai, kubu yang bertarung secara garis besar ada dua, yakni kubu pro-pemerintah dan kubu di luar pemerintah.
"Dalam analisis saya, sering ada dua klaster. Bisa dikatakan, ini sejak fenomena pilpres, muncul pro dan kontra, muncul pula ada akun-akun influensial. Mereka menunggu munculnya salah kata atau keseleo lidah dari kubu lawan yang bisa dipakai untuk menjatuhkan kubu lawan," kata Ismail Fahmi kepada media akhir Januari lalu.
Bila ditarik asal-usul perkubuan yang masih berseteru di medsos, mereka berasal dari persaingan Pilpres 2019 (bahkan bisa lebih awal lagi).
Persaingan cebong dan kampret (kemudian bermutasi menjadi kadrun) seolah-olah terus terpelihara. Ini tampak di Sosial Network Analysis (SNA) yang dibaca Fahmi.
"Saya lihat, kok (perkubuan), masih dipertahankan untuk persiapan 2024 juga," kata dia.
Perkubuan ini tidak sehat karena memelihara 'cebong-kadrun' berarti memelihara perpecahan.
Tokoh terkemuka di negara ini perlu segera mengakhiri keterbelahan ini.
Pihak yang dirugikan dari keterbelahan yang berisiko berujung di meja polisi adalah warganet yang biasa-biasa saja, bukan cuma warganet yang kebetulan tokoh politik atau influencer pelaku pertarungan elite.
Interaksi di media sosial menjadi tidak sehat.
Bisa jadi, Fahmi menengarai, ada pihak tak terlihat di medsos yang mengambil keuntungan dari keterbelahan masyarakat ini.
Staf Peneliti di Pusat Riset Politik-Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN), Wasisto Raharjo Jati, membagikan perspektifnya juga.
Dia menarik peristiwa informasi di internet berujung ke penegak hukum pada era 2008, saat email Prita Mulyasari diperkarakan satu rumah sakit.
Prita Mulyasari sempat masuk penjara. Simpati publik tercurah untuk Prita. Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ikut dikritisi kala itu.
Namun kini interaksi via internet makin intens, kasus 'omongan dilaporkan ke polisi' juga semakin naik jumlahnya.
"Eskalasinya akan makin meningkat karena populasi warganet akan semakin tinggi pula," kata Wasisto ketika dihubungi terpisah.
Siapa pun bisa menyampaikan perasaannya dengan lebih mudah di era kini, termasuk perasaan benci.
Sikap toleran dan 'santai saja' terhadap ujaran-ujaran yang berseliweran seolah-olah menjadi susah diterapkan.
"Perlu ada kubu mediator dari kedua kubu itu, karena sekarang ini benar atau salah ditentukan dari banyaknya followers, sehingga susah untuk bersikap toleran satu sama lain," kata Wasisto.
Wasisto adalah ilmuwan sosial lulusan UGM dan The Australian National University.
Dia pernah meneliti kebangkitan aktivisme siber di kelas menengah Indonesia.
Untuk perilaku netizen akhir-akhir ini, dia mengamati kecenderungan corak sikap tertentu, yakni hasrat untuk mempermalukan lawan politik di media sosial.
"Karena sosial media telah membentuk kultur 'virtual shaming' yakni membuat malu orang lain secara virtual, membuat terlapor/tertuduh menjadi bulan-bulanan karena kasusnya menjadi viral. Dengan demikian, ada motif balas dendam yang dilakukan oleh pelapor kepada terlapor," kata Wasisto.
Misalnya, ada dua kubu, yakni kubu X dan kubu Y.
Kubu X merasa pihaknya telah dipermalukan di medsos, bahkan tokoh dari kelompoknya ada yang dilaporkan ke polisi oleh kubu Y.
Sebagai aksi balas dendam maka kubu X bakal mencari kesalahan kubu Y supaya bisa melaporkan orang dari kubu Y ke polisi juga.
Perilaku seperti ini juga didorong oleh sensitivitas berlebihan atau baper (bawa perasaan) dari netizen dalam menyikapi pelbagai isu.
"Tentunya itu tidak bagus bagi kualitas demokrasi karena publik semakin tidak mau menerima pandangan dari sudut yang berbeda, membuat orang jadi makin baper, mengira kritikan sebagai hinaan," kata Wasisto.
Kejadian saling lapor, menurut Wasisto, sering diawali oleh argumentasi dan data yang disinformatif.
Parahnya, orang yang membawa data salah itu merasa dirinya benar.
Maka untuk mengakhiri ketidaksehatan interaksi ini, kemampuan literasi dalam membaca data dan fakta perlu ditingkatkan.
"Langkah kedua yakni detoks socmed dengan mematikan fitur socmed sementara waktu agar publik tidak semakin terprovokasi," kata dia. [Tio]