Perilaku seperti ini sudah lama dimulai, kubu yang bertarung secara garis besar ada dua, yakni kubu pro-pemerintah dan kubu di luar pemerintah.
"Dalam analisis saya, sering ada dua klaster. Bisa dikatakan, ini sejak fenomena pilpres, muncul pro dan kontra, muncul pula ada akun-akun influensial. Mereka menunggu munculnya salah kata atau keseleo lidah dari kubu lawan yang bisa dipakai untuk menjatuhkan kubu lawan," kata Ismail Fahmi kepada media akhir Januari lalu.
Baca Juga:
Bawaslu Kubu Raya Selidiki Dugaan Kampanye Pilkada Difasilitasi Dinas Pendidikan Setempat
Bila ditarik asal-usul perkubuan yang masih berseteru di medsos, mereka berasal dari persaingan Pilpres 2019 (bahkan bisa lebih awal lagi).
Persaingan cebong dan kampret (kemudian bermutasi menjadi kadrun) seolah-olah terus terpelihara. Ini tampak di Sosial Network Analysis (SNA) yang dibaca Fahmi.
"Saya lihat, kok (perkubuan), masih dipertahankan untuk persiapan 2024 juga," kata dia.
Baca Juga:
YLKI Wanti-wanti Konsumen Jangan Asal Viralkan Keluhan di Medsos, Ini Risikonya
Perkubuan ini tidak sehat karena memelihara 'cebong-kadrun' berarti memelihara perpecahan.
Tokoh terkemuka di negara ini perlu segera mengakhiri keterbelahan ini.
Pihak yang dirugikan dari keterbelahan yang berisiko berujung di meja polisi adalah warganet yang biasa-biasa saja, bukan cuma warganet yang kebetulan tokoh politik atau influencer pelaku pertarungan elite.