Dengan ketentuan itu, konsumen yang mengkonsumsi alias mengimpor listrik dari PLN akan dikenakan tarifnya adalah X per kWh, sementara ekspor listrik dari pengguna PLTS atap ke PLN dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 0,65 alias 65%.
Perhitungan energi listrik pelanggan PLTS Atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh impor dengan nilai kWh ekspor.
Baca Juga:
Irjen Pol Sumadi Kembali Bawa Pulang Piala Bergilir Turnamen Golf Gatrik IKAPELEB KESDM 2024
Dengan adanya aturan anyar PLTS atap berikut skema ketentuan net metering ekspor-impor 1:1, PLN wajib membeli listrik pelanggan dengan harga penuh alias 100% dari tarif.
Menanti Perpres dan Undang-Undang EBT Terlepas dari kinerja positif Kementerian ESDM pada 2 tahun terakhir, pelaku usaha menilai bahwa pemerintah masih memiliki sejumlah “pekerjaan rumah” yang perlu diselesaikan.
Riza menuturkan, pihaknya masih menantikan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) soal EBT.
Baca Juga:
Daftar Lengkap Pemenang Turnamen Golf Piala Bergilir Gatrik 2024 IKAPELEB KESDM
Menurutnya, kehadiran perpres ini bisa mendorong pelaksanaan lelang proyek PLTA yang menurut Riza tersendat.
Pasalnya, Riza mencatat bahwa sejumlah proyek PLTA yang masuk dalam RUPTL dan dijadwalkan bisa beroperasi pada tahun 2025 mendatang belum juga memasuki tahapan lelang hingga saat ini.
“Di dalam Perpres yang akan terbit nanti, kalau sesuai dengan draftnya ada banyak pengaturan-pengaturan mengenai pelaksanaan penunjukannya (lelang),” terang Riza.