LPKKI.id | Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyatakan, rencana kenaikan tarif dasar listrik kira memang sudah sepatutnya dilakukan adjusment mengingat sejak tahun 2017 tidak diberlakukan tarif adjusment.
Akibatnya 5 tahun tidak pernah dinaikan hal ini berdampak terhadap keuangan negara dimana pemerintah harus membayar kompensasi kepada PLN sebesar selisih dari nilai keekonomian serta menggangu cash flow PLN karena pemerintah membayar kompensasi tidak di tahun yang sama tapi berdasarkan kemampuan keuangan negara.
Baca Juga:
Tarif Listrik Triwulan IV Tidak Naik, PLN Jaga Pelayanan Listrik Tetap Andal
Hal ini setiap tahun terus mengalami kenaikan beban kompensasi karena faktor yang mempengaruhi BPP listrik terus mengalami kenaikan.
Adapun faktor tersebut jika mengacu kepada KepMen ESDM No 3/2020 adalah nilai mata uang rupiah terhadap dollar AS, ICP, inflasi dan harga patokan batu bara.
Berdasarkan Laporan Keuangan PLN, beban kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah adalah sebagai berikutTahun 2018 beban kompensasi sebesar Rp 23,17 T, 2019 Rp 22,25 T, 2020 mengalami penurunan karena komsumsi listrik turun sebesar Rp 16,7 T dan 2021 sampai semester 1 mencapai Rp 8,8 T yang diperkirakan akan mencapai Rp 24,5 T karena pemakaian listrik sudah kembali meningkat pasca pandemi covid 19.
Baca Juga:
Bebani Konsumen Listrik, YLKI Desak Pemerintah Batalkan Power Wheeling
Jika kita melihat kriteria pelanggan PLN di bagi menjadi 2 golongan yaitu pelanggan subsidi dan pelanggan non subsidi.
Menurut Mamit, golongan yang harus di adjusment tarifnya adalah golongan non subsidi mengingat “penikmat” terbesar golongan non subsidi adalah industri besar, industri menengah, bisnis besar, bisnis menengah, rumah tangga besar dan menengah.
Jumlah pelanggan non subsidi saat ini adalah 54% dari total pelanggan PLN sebanyak 83 juta pelanggan. Oleh karena itu, golongan tarif non subsidi inilah yang harus di diadjustment tarifnya.