LPKKI.id | Dampak sanksi terbaru negara-negara Eropa bersama Amerika Serikat dan sekutu lainnya, terhadap Rusia atas invasi militernya ke Ukraina telah menyebabkan harga minyak di pasar internasional pada perdagangan Senin (Selasa, WIB) melonjak di atas 100 dolar AS per barel.
Hingga Rabu (2/3/2022) pukul 07:50 WIB, harga minyak jenis brent berada di US$ 104,97/barel. Melesat 3,94% dan menjadi yang tertinggi sejak Juli 2014.
Baca Juga:
Harga Minyak Dunia di Tengah Sengitnya Perang Israel-Hamas
Sementara yang jenis light sweet harganya US$ 105,86/barel. Melambung 2,37% dan menjadi yang tertinggi sejak 24 Juni 2014.
Perkembangan konflik di Ukraina itu masih menjadi latar belakang kenaikan harga si emas hitam.
Rusia memperingatkan warga ibu kota Ukraina, Kyiv, untuk meninggalkan rumah dan menuju ke lokasi pengungsian.
Baca Juga:
Goldman Sachs Prediksi Minyak Melonjak ke US$105 per Barel Tahun 2023
Sebab, negara yang dipimpin oleh Presiden Vladimir Putin itu akan segera menyerang Kyiv, yang pada masa Uni Soviet disebut Kiev.
Praktisi minyak dan gas (Migas), Inaz N.Zubir menilai, konflik antara Rusia dan Ukraina tersebut dapat menyebabkan ketatnya suplai minyak yang kemudian mendorong brent dan WTI semakin merangkak naik.
“Apalagi pembicaraan damai antara Rusia dan Ukraina pada tanggal 28 Feb 2022 kemarin, berakhir dengan para pejabat kembali ke negara masing-masing untuk berkonsultasi lebih lanjut. Artinya bahwa resolusi konflik tidak akan segera terjadi,” kata Inas kepada media di Jakarta, Rabu (02/3/2022).
Menurut mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI ini, yang paling berdampak akibat perang ini adalah Pertamina karena sebagian besar minyak mentah yang diolah kilang Pertamina berasal dari import.
Bahkan minyak dalam negeri yang harus diserap oleh Pertamina, ICP nya dipastikan ikut merangkak naik karena berbasis publikasi brent.
“Padahal sebelum perang Rusia dengan Ukraina terjadi, selisih harga jual terhadap harga pokok produksi sudah sangat lebar. Apabila brent terus merangkak naik, kita khawatir Pertamina kekurangan darah. oleh karena itu, seyogyanya pemerintah segera menaikan harga BBM non subsidi,” pungkasnya.
Sebelumnya Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengatakan, konflik yang menyebabkan melejitnya harga komoditas energi dunia seperti minyak global perlu dimanfaatkan pemerintah Indonesia untuk menggenjot produksi komoditas energi domestik atau dalam negeri.
“Hal tersebut perlu dilakukan agar Indonesia dapat mengurangi risiko defisit transaksi berjalan melalui peningkatan pendapatan dari sektor migas dan minerba,” kata Mulyanto dalam keterangan di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, tingginya harga migas dunia adalah angin segar bagi iklim investasi sektor migas domestik, yang sebelumnya sempat merosot karena diterpa isu energi baru terbarukan (EBT).
Untuk itu, ujar dia, kondisi ini juga merupakan kesempatan baik bagi industri migas untuk meningkatkan eksplorasi dalam rangka menggenjot produksi.
Dengan demikian, lanjutnya, maka peningkatan produksi minyak domestik secara langsung dapat mengurangi tingkat ketergantungan Indonesia pada impor BBM, sekaligus menekan defisit transaksi berjalan di sektor migas.
Ia mengingatkan bahwa ekses produksi gas alam yang bertambah dapat meningkatkan kinerja ekspor komoditas energi ini di tengah harganya yang melambung, dalam rangka meningkatkan penerimaan devisa negara.
“Logika yang sama juga berlaku untuk komoditas batu bara, yang akhir-akhir ini menjadi durian runtuh alias windfall profit bagi PNBP kita. Termasuk juga ekspor komoditas CPO,” paparnya.
‘Artinya, melonjaknya harga energi dunia, yang akan menguras devisa kita untuk keperluan impor migas, sebenarnya dapat dikompensasi dengan ekspor komoditas energi lainnya seperti batu bara, gas alam dan juga CPO,” tutup Mulyanto. [Tio]