LPKKI.id | Bersyukurlah Indonesia, karena dianugerahi deretan gunung berapi dan potensi tenaga panas bumi.
Akan tetapi, di Indonesia, pengembangan panas bumi itu untuk menjadi tenaga listrik masih terkendala faktor “ekonomisasi”, atau skala keekonomian.
Baca Juga:
Aksi AKP Dadang Guncang Solok Selatan, Hujani Rumah Dinas Kapolres dengan Tembakan
Maka, dari potensi sebesar 23.900 megawatt, sejauh ini pemanfaatannya pun barulah sekitar 2.175 megawatt.
Jadi, tentu saja, para pengembangnya sangat membutuhkan dukungan berupa insentif dari pemerintah.
Menurut Presiden Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Prijandaru Effendi, ada dua penyebab utama belum optimalnya pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di negeri ini.
Baca Juga:
OTT KPK Bengkulu, Calon Gubernur Petahana Dibawa dengan 3 Mobil
Pertama, adanya perbedaan harga jual tenaga listrik yang ditawarkan pengembang berdasarkan keekonomian proyek dengan kemampuan pembelian oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Dan, kedua, peraturan yang ada belum mendukung percepatan pengembangan panas bumi.
”Solusi yang kami harapkan adalah kehadiran pemerintah untuk memberikan insentif atau subsidi guna menjembatani perbedaan (harga jual beli) itu. Pengembang tentu saja diharapkan menerapkan efisiensi dan berinovasi menerapkan teknologi maju untuk menekan biaya operasi,” kata Prijandaru, saat dihubungi wartawan, Minggu (10/10/2021), di Jakarta.
Ia menambahkan, proyek pengembangan panas bumi di Indonesia memerlukan waktu rata-rata 10 tahun.
Jika penuntasan proyek bisa dipercepat, misalnya menjadi tujuh tahun, keekonomian proyek bisa didapat lebih baik, dan harga jual tenaga listrik panas bumi bisa lebih kompetitif.
Salah satu faktor yang membuat lamanya pengembangan proyek adalah negosiasi jual-beli tenaga listrik dari panas bumi.
Sementara itu, menurut Direktur Panas Bumi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Harris Yahya, dalam webinar Masa Depan Pengembangan Panas Bumi di Tengah Glorifikasi Energi Terbarukan, Rabu (6/10/2021), isu harga jual tenaga listrik panas bumi memang menjadi tantangan tersendiri.
Oleh karena itu, diperlukan efisiensi operasi pada pengembangan PLTP.
”Ada beberapa skenario yang disiapkan pemerintah untuk mendukung pembiayaan operasi panas bumi agar diperoleh angka keekonomian. Beberapa di antaranya, pengeboran eksplorasi panas bumi oleh Badan Geologi dengan dana APBN di 20 wilayah kerja panas bumi sampai 2024, dengan kapasitas 683 MW,” ucap Harris.
Skenario lainnya, ujar Harris, pemanfaatan dana pembiayaan infrastruktur sektor panas bumi dan Geothermal Resource Risk Mitigation (GREM) untuk pendanaan pengembangan panas bumi di Indonesia.
Pengembangan bersama antar-BUMN, seperti PLN dengan PT Geo Dipa Energi (Persero) dan PT Pertamina Geothermal Energy, anak usaha PT Pertamina (Persero), juga diharapkan dapat menurunkan biaya operasi.
Murah dan Bersih
Untuk PLTP yang baru beroperasi, Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listriknya bisa di atas 10 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh).
Sementara untuk pembangkit yang sudah lama beroperasi, seperti PLTP Lahendong di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, BPP saat ini sebesar 8,6 sen dollar AS per kWh, atau setara Rp 1.227 per kWh.
Hal itu membuat PLTP Lahendong menjadi salah satu yang terefisien di dunia.
Manajer Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkitan (UPDK) Minahasa PLN, Andreas Arthur Napitupulu, menyampaikan, BPP PLTP Lahendong kini hanya bersaing dengan salah satu PLTP di Selandia Baru.
Hal ini membuktikan, efisiensi dalam operasi dan perawatan telah berjalan sangat baik.
”Kami juga mengoptimalkan tenaga kerja serta perawatan yang lebih prediktif. Yang terpenting adalah menjalankan tata kelola pembangkit secara konsisten,” ujar Andreas.
BPP yang rendah mendorong komitmen UPDK Minahasa mengoptimalkan PLTP Lahendong hingga 24 jam setiap hari.
Pembangkit ini juga terbukti ramah lingkungan dengan emisi karbon rendah, yaitu 75 gram per kWh.
Dibandingkan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan lainnya, seperti hidro, bayu, dan surya, PLTP bersifat andal dan stabil.
Faktor kapasitas pembangkit jenis ini mencapai 90-95 persen.
Selain itu, produksi listrik dari PLTP tidak terpengaruh pergerakan harga komoditas energi primer, seperti gas alam, minyak bumi, dan batubara.
Faktor cuaca juga tidak menghambat operasional PLTP. [ana]