Dia bercerita, ujicoba penggunaan pakan organik dimulai pada pertengahan tahun 2020. Saat itu, Pertamina ikut membantu. Pilihan dijatuhkan pada ayam kampung. Ujicoba dilakukan pada 100 ekor.
“Ini disesuaikan dengan lahan 12 anggota, ada yang 20 atau 30 ayam,” ujar pemuda kelahiran Subang, 29 Maret 1991.
Baca Juga:
Wamendag Roro: Prioritaskan Perdagangan Hijau, Ramah Lingkungan, serta Berkelanjutan
Selain menir dan dedak, maggot menjadi pakan ayam kampung tersebut. Sa’urus Farm membudidayakan maggot dengan memanfaatkan limbah organik dari lingkungan tempat tinggal sekitarnya.
Bahan organik tersebut diurai oleh maggot selama tiga pekan. Sedangkan limbahnya berupa bekas maggot (kasgot) digunakan untuk tanaman padi organik. Pemanfaatan ini juga untuk menekan biaya produksi petani.
Tak hanya itu, Sa’urus Farm juga membudiayakan tanaman odot untuk pakan sapi dan ternak domba. Kebun tersebut diberi pupuk menggunakan pupuk kandang dari kotoran sapi. Pakan yang digunakan untuk peternakan sapi dan domba berasal dari rumput odot, jerami padi dan dedak. Sedangkan kotoran sapi digunakan langsung untuk tanaman padi dan pakan maggot BSF.
Baca Juga:
Buntut Pertamax Bermasalah, YLKI Desak Keadilan Bagi Konsumen yang Dirugikan
“Kandungan protein maggot itu tinggi, sekitar 40 persen. Pas untuk ayam organik. Sementara sumber karbohidrat dari menir dedak dan sekam. Seratnya dari eceng gondok. Semua sumber kebutuhan makanan itu sudah ada di sekitar kita,” ungkap Dedi.
Panen ayam kampung organik dilakukan setiap tiga bulan. Hasilnya lumayan. Harga ayam kampung bobot hidup 1,2 hingga 1,4 kg dihargai Rp 45-55 ribu per ekor. Sementara jumlah ayam yang diternak anggota Sa’urus Farm bias mencapai 3.000 ekor dari 32 anggota.
“Selisih antara nilai jual dan biaya operasi, cukup signifikan. Ini berkat penggunaan maggot yang memangkas ongkos pakan hingga 50 persen,” katanya.