LPKKI.id | Upaya merubah pola kerja maupun kebiasaan petani tidaklah mudah. Selain bercocok tanam, petani biasanya punya hewan ternak yang dipelihara dengan dilepas begitu saja dan mencari makanan sendiri.
Padahal jika dikelola lebih baik, hasilnya tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga namun juga menghasilkan nilai jual yang lebih.
Baca Juga:
Wamendag Roro: Prioritaskan Perdagangan Hijau, Ramah Lingkungan, serta Berkelanjutan
Hal inilah yang menjadi dasar bagi Subholding Upstream Pertamina Regional Jawa Bagian Barat Field Subang mendukung pengembangan program Integrasi Peternakan dengan Sistem Organik (Garasi Organik) di Desa Pringkasap, Kecamatan Pabuaran, Subang, Jawa Barat.
Bekerja sama dengan kelompok usaha tani-ternak Sa’urus Farm, program pemberdayaan ini pun diakui telah memberikan manfaat baik dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi masyarakat setempat.
“Alhamdulillah, setelah dikenal sebagai penghasil beras organik, Desa Pringkasap secara perlahan mulai dikenal sebagai pemasok daging organik, terutama dari daging ayam kampung,” ujar Sekretaris Koperasi Sa’urus Farm, Dedi Mulyadi, saat ditemui di kantor koperasi sekaligus markas “Garasi Organik,” Minggu sore (28/11/2021).
Baca Juga:
Buntut Pertamax Bermasalah, YLKI Desak Keadilan Bagi Konsumen yang Dirugikan
Menurut Dedi, program atau inovasi “Garasi Organik” sejatinya berawal saat dirinya mengajak petani di desanya memproduksi beras organik. Selama tujuh tahun (2012-2019) pengembangan padi organik, timbul masalah baru yakni produk turunan dari penggilingan padi yakni dedak, menir dan sekam.
Namun berkat dukungan Pertamina pada pertengahan tahun 2020, ide tokoh pemuda Desa Pringkasap ini untuk mengembangkan pertanian-peternakan terpadu kesampaian. Dengan semangat, dia pun mengajak para pemilik ternak untuk membentuk kelompok tani ternak Sa’urus Farm yang bertujuan menciptakan peternakan dengan sistem yang lebih baik.
“Setelah adanya program ‘Garasi Organik’, peternak mampu memproduksi pakan ternak secara mandiri sehingga mengurangi modal produksi. Selain itu, peternak juga mampu menjual hasil ternaknya lebih tinggi karena secara kualitas juga meningkat,” ujar Alumni Institut Pertanian Bogor ini.
Dia bercerita, ujicoba penggunaan pakan organik dimulai pada pertengahan tahun 2020. Saat itu, Pertamina ikut membantu. Pilihan dijatuhkan pada ayam kampung. Ujicoba dilakukan pada 100 ekor.
“Ini disesuaikan dengan lahan 12 anggota, ada yang 20 atau 30 ayam,” ujar pemuda kelahiran Subang, 29 Maret 1991.
Selain menir dan dedak, maggot menjadi pakan ayam kampung tersebut. Sa’urus Farm membudidayakan maggot dengan memanfaatkan limbah organik dari lingkungan tempat tinggal sekitarnya.
Bahan organik tersebut diurai oleh maggot selama tiga pekan. Sedangkan limbahnya berupa bekas maggot (kasgot) digunakan untuk tanaman padi organik. Pemanfaatan ini juga untuk menekan biaya produksi petani.
Tak hanya itu, Sa’urus Farm juga membudiayakan tanaman odot untuk pakan sapi dan ternak domba. Kebun tersebut diberi pupuk menggunakan pupuk kandang dari kotoran sapi. Pakan yang digunakan untuk peternakan sapi dan domba berasal dari rumput odot, jerami padi dan dedak. Sedangkan kotoran sapi digunakan langsung untuk tanaman padi dan pakan maggot BSF.
“Kandungan protein maggot itu tinggi, sekitar 40 persen. Pas untuk ayam organik. Sementara sumber karbohidrat dari menir dedak dan sekam. Seratnya dari eceng gondok. Semua sumber kebutuhan makanan itu sudah ada di sekitar kita,” ungkap Dedi.
Panen ayam kampung organik dilakukan setiap tiga bulan. Hasilnya lumayan. Harga ayam kampung bobot hidup 1,2 hingga 1,4 kg dihargai Rp 45-55 ribu per ekor. Sementara jumlah ayam yang diternak anggota Sa’urus Farm bias mencapai 3.000 ekor dari 32 anggota.
“Selisih antara nilai jual dan biaya operasi, cukup signifikan. Ini berkat penggunaan maggot yang memangkas ongkos pakan hingga 50 persen,” katanya.
Selain ayam kampung, Koperasi Sa’urus Farm juga mulai mengembangkan bebek. Koperasi melakukan breeding bebek Alabio dan Mojosari. Penyilangan dua varian bebek ini bisa mempercepat panen bebek dari 6-7 bulan untuk bertelur jadi 4,5 bulan saja.
“Koperasi saat ini memeliharai 300-an bebek. Sudah dicampur. Ada alabio dan mojosari. Alabio untuk induk betina. Kemampuan bertelur tinggi. Produksi tinggi, sedangkan Mojosari untuk pejantan bagus,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Koperasi Sa’urus Farm, Syafaat Budi Mulyono, mengatakan bahwa pengembangan “Garasi Organik” memang butuh ketekunan dan sosialisasi. Karena itu, setiap Jumat malam, anggota koperasi berkumpul.
“Kami menampung berbagai problem yang dihadapi peternak. Kami ajarin SOP peternakan organik,” ujar Sarjana Administrasi Negara FISIP UNPAD ini.
Dia berharap, ke depan Koperais Sa’urus Farm bisa mendapatkan sertifikasi organik untuk produksi ternak yang dihasilkan anggota. Saat ini, koperasi baru menjadi etalasi dan juga distribusi hasil ternak.
“Kami terbuka untuk siapa saja. Lokasi yang di sini untuk etalse. Kalau masyarkat mau belajar ayam, itik, maggot, silakan. Itu nanti mereka itu garasinya ada di sini,” ujar Budi, yang juga menjabat sebagai Ketua Bumdes Karanghegar Berkarya dan Bendahara Forum Bumdes Kabupaten Subang. [Tio]